Sejarah Suku Karo

MIGRASI
Pada pra- sejarah terjadi perpindahan bangsa- bangsa  termasuk di Asia  yang khusus ke Indonesia  datang dari  Asia Selatan  dan Tenggara . Percampuran  darah terjadi  antar  bangsa- bangsa tersebut  dengan penduduk  yang telah bermukim  sebelumnya  di Nusantara  ini merupakan  nenek moyang kita  dan pada umumnya  yang mendiami  pesisir  sebagai orang  bahari.

Menurut Versi Karo : Leluhur  hidup  dari menangkap ikan , bertani, berburu, berdagang , mengarungi samudra luas. Hal ini  diceritakan  bersambung hampir setiap malam  di lantai lumbung padi  yang dinamakan ‘Jambur’  dari purbakala  hingga menjelang  tahun 1940  di daerah yang  penduduknya  suku Karo .

Cerita yang bersambung mengenai seluk beluk asal muasal suku Karo , kebudayaan, bahasa dan adat istiadat serta perjuangan  hidupnya  biasanya di namakan ‘Turi- turin  atau Terombo Karo’. Setiap cerita ditayangkan  melalui lagu merdu pada malam hari sampai dini hari selama tujuh malam.

Aku dulu pernah  mendengarkan cerita bersambung itu sebelum  memasuki bangku sekolah. Karena sudah  dilalui puluhan tahun, bisa jadi ada kelupaan  dalam menguraikan  inti sarinya, terutama  pencocokan daerah kejadian saat dipergunakan  pengetahuan umum geografi  dan sejarah  dunia  atau nasional dalam keadaan tertentu  menurut suasana hikayatnya.

Pada pokok hikayat di uraikan  bahwa  nenek moyang  itu datang ke pesisir Indonesia umumnya dan  Sumatera khususnya  yang menurut logat mereka  “reh ku pertibi si la ertepi  enda”  dari dua  “negeri   nini pemena”  yaitu leluhur Pemula, datang dari dari negeri yang disebut  “YUNA ( YUNAN )”  ialah  dari Cina Selatan dan Asia  Tenggara  serta  “BARAT” yakni Asia Selatan (India , Pakistan, Banglades, dan lain- lain).

Yang datang dari  negeri “Yuna” itu  masih tergolong  “animisme” atau “agama pemena”, sedangkan yang bersal dari “Barat”  sudah beragama, yaitu agama Budha. Suku- suku bangsa pesisir  yang saling  bercampur darah  (perkawinan)  sesamanya  inilah  merupakan nenek moyang  suku  Karo  setelah kelak  masuk  ke daerah  pedalaman (Pembauran).

PEMUKIMAN DATARAN TINGGI  KARO  
Leluhur kita yang  yang bermukim disepanjang  pesisir Sumatera  berkembang  memeluk  kepercayaan  yang beraneka ragam yaitu  animisme, Budha, Hindu, dan lain lain, sebelum maupun sesudah  berdiri  Negara Nasional I (Kedatuan Sriwijaya) dan  Negara Nasional II (Keprabuan  Majapahit) antara abat VII- XVI.

Karena pekerjaan nenek moyang kita  selaku kaum  bahari dan pedagang, maka sudah jelas merekapun bergaullah  dengan orang asing  yang memeluk pelbagai agama, termasuk  Muslim, sehingga kian lama makin banyaklah agama yang dianut penduduk.

Perbedaan agama pun tak dapat dihindahkan. Yang dalam turi- turi Karo diceritakan bahwa dalam  satu keluarga mungkin terdapat dua atau atau beberapa kepercayaan yang berlainan, antara satu dengan yang lainnya. Begitu juga bangsa asing yang memeluk pelbagai macam agama datang ke Indonesia untuk berdagang sambil menyiarkan agamanya masing- masing. Selain  membawa keagamaan juga  mengenai kebudayaan yang mempengaruhi tata kehidupan pendududk.

Demikianlah seorang  pedagang Venesia benama Marcopola pada tahun 1292 telah menyaksikan perkembangan pesat penyiaran agama Islam  didaerah Aceh yaitu  Samudera Pasai dan Peureulak. Pada tahun 1345, menutut Ibnu Batulah, sudah mapan benar agama Islam sebagai anutan  penduduk Di Samudra Pasai, yang keterangannya ini diperkuat pula oleh musyapir Cina bernama Ceng Ho, yang berkunjung ke daerah tersebut tahun 1405.

Menurut versi karo, pada masa- masa itulah terjadi perubahan tata kemasyarakatan yaitu kaum yang tak hendak memeluk agama Islam membentuk kelompok – kelompok . Lalu berpindah ke daerah pedalaman meninggalakan sanak keluarga yang telah  mayoritas beragama Islam. Kemudian agama  Islam meluas berkembang sepanjang pesisir; terutama dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636).

Kemudian maka terjadilah apa yang dinamakan “Mburo Bicok Pertibin”, yaitu mengadakan pengungsian secara besar- besaran  dengan bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke negeri asal buat selama- lamanya. Diceritakan pada masa itu hutan raya di daerah pedalaman belum dihuni  oleh manusia .

Bahasa “kita” ialah cakap melawi — , yang kemudian  berubah seperti yang sekarang ini. Perubahan bahasa  terjadi akibat peroses pembauran melalui puak- puak yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam kehidupan adalah logis. Sebagian mereka yang masuk kepedalaman dari arah pantai Timur maupun dari arah pantai Barat, pulau Sumatera.

Mereka yang tertinggal adalah sudah memeluk agama Islam dan hijrah tidak hendak memeluk Islam. Perjalanan memasuki rimba hutan  belantara itu, sangat sukar, perlu ada pemimpin atau Panglimanya. Mereka masuk dan  beranggapan bahwa ditempat yang dituju itu religinya/kepercayannya itu akan aman dilanjutkan sebagai warisan nenek moyangnya.

Diketahui  dalam hikayat bahwa  pemeluk Islam, selalu mangadakan pendekatan dengan saudara-saudaranya yang kini berada di wilayah  pegunungan  dan bergaul saling berkunjung, akhirnya, kaum yang tadinya mempertahankan kebiasaan memuja religi nenek moyangnya itu pelan-pelan  ditinggal mereka dan mereka memeluk Islam. Atau diam- diam status quo, sementara menimbang- nimbang mana patut dilanjutkan dan mana patut diterima, atau ditolak.

Selanjutnya perjalanan yang  sedemikian jauhnya yang disebut ke-dataran tinggi dinyatakan sebagi “taneh tumpah darah”  yang baru kemudian di berikan nama “TANAH KARO SI MALEM”

PERTIBI PERTENDIN MERGA SI LIMA SI ENGGO KA REH IBAS  DESA SI WALUH  NARI
“Tanah Karo Si Malem”  artinya : peryataan bahwa tanah tumpah darah yang baru itu nyaman, hidup atau mijati, akan dipertahankan selamanya. Pertibi Pertendin Merga Silima artinya: Dibata yang telah menetapkan daerah ini untuk pemukiman kaum yang LIMA MARGA terdiri dari  : Karo- Karo , Ginting, Sembiring, Tarigan , Perangin- angin.

“Sienggo ka reh ibas desa siwaluhn nari” artinya: untuk jangka waktu yang lama  tak henti- hentinya datang rombongan pengungsi dari segala penjurui mata angin (delapan  penjuru) kedataran tinggi, sehingga menjadi buah bibir setiap ada rombongnan  terlihat  datang dari pesisir, terucaplah  kata- kata, enggo ka reh… enggo kalakreh enggo kalakreh…( Kareh ) kemudian berubah sebutannya kalak reh, kareh … kare,  Karo , menjadi … KARO, yang artinya  kalak= orang . reh = datang, Karo = orang datang.

Artinya menjadi; orang yang datang sengaja mengungsi  untuk mempertahankan religinya/ kepercayaaannya. Mereka datang dan mengharukan, sebab perjalan mereka itupun jauh, lebih kita terharu, KALAK  AROE = KARO  Mereka itu melanglang, berani, harus keras hati, mandiri, budi luhur tetapi suka bermusyawarah dan mau menerima atau tidak kaku.

Terlihat dalam perkembangannya Merga Karo- Karo, Perangin-angin , Sembiring sebelum berangkat meninggalkan leluhurnya di “Barat” tempo dulu sudah memiliki Indentitas berupa Merga dan Cabang  Merga ,seperti Merga Ginting  dan Merga Tarigan  bersasal dari YUna (Wilayah Selatan ; bahkan ada hubungan atas serangan Mongolia dari utara Jengis Khan  dsb).

Jatidiri berupa “Merga” telah disandang turun temurun. Oleh karena itu sekalipun kelompok itu baru tiba akan mendapat kemudahan untuk mengelompokkannya sesuai Merga yang disebutkan orang yang baru datang. Di Suku Karo hanya ada LIMA MARGA, dan memiliki cabang untuk setiap marga. Sekalipun ada cabang-cabang tiap Marga, tapi tidak terlalu banyak, tidak mencapai ratusan jumlahnya keseluruhannya. Keseluruhan cabang Merga Silima hanya ada 75 cabang.

Meneliti sejarah maka pemukiman orang Karo di dataran tinggi diperkirakan pengungsian awal sekitar tahun 1350-an dan terbanyak tatkala pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1660-an sehingga disimpulkan bahwa sudah ada orang Karo tahun 1300-an.

Orang Karo yang datang dengan rombongan tepo dulu ke hutan rimba raya tidaklah besar, sekalipun persyaratannya berangkat “KUH SANGKEP SITELU ” yaitu Kalimbubu,Senina, Anak Beru . Contohnya dalam cerita  bahwa rombongan KARO mergana , berangkat dari LINGGA RAJA menuju  dataran tinggi, sampailah di puncak “Deleng Penolihen” yaitu pegunungan antara “Tiga Lingga – Tiga Binanga” terpaksa di tunda perjalannya. Sekalipun jumlah rombongan sebelas, tetapi tertinggal anak beru-nya Perangin- angin mergana. Terpaksa di jemput lagi kearah asal atau memberi gantinya sebagai  “anak beru”.

Terpenuhilah syarat tadi , tiba mereka disuatu lokasi dan mendirikan “KUTA LINGGA PAYUNG”. Sejak itu nama bukit barisan diantara  Karo – Dairi disebutkan oleh  orang Karo “Deleng Kuh Sangkep”. Setiapa orang Karo mesti dapat dimasukkan dalam salah satu diantara lima marga   tersebut diatas, sebab barang siapa yang yang tidak hendak memakai indentitas demikian, tidak akan diakui sebagai “Kalak Karo” yang dinamakan “nasap tapak nini”, misalnya, banyak dahulu terjadi  orang yang “tercela ahlaknya ” di desanya lalu merantau ke-negeri lain tanpa mejunjujung tinggi merganya atau menggantinya, orang yang memeluk agama Islam dengan menghilangkan indentitasnya itu seraya mengaku orang Melayu  kampung atau “kalak Maya- Maya” terutama di Karo Jahe ” dan lain- lain .

Tetapi sebaliknya setelah terbentuk SUKU KARO, dahulu ada orang dari suku lain sekalipun yang oleh sebab misalnya, mengadakan perkawinan dengan orang Karo bisa diterima Bermerga atau memiliki Beru pada salah satu merga diantara yang lima tersebut. “Merga” ialah indentitas pria yang diturunkan terhadap putrinya akan dinamakan “beru”. Beru adalah indentitas wanita yang diturunkan terhapa putra – putrinya umpamanya , beru Karo, diturunkan kepada putra putrinya dengan sebutan bere- bere  Karo.

Semua indentistas tersebut merupakan lambang suci yang dalam bahasa Karo dinamakan “Tanda Kemuliaan” yang gunanya untuk menghitung berapa tingkat keturunan telah berlangsung merga bersangkutan hingga dirinya sendiri sejak dari nenek moyang yang dahulu berangkat dari negeri asalnya ” yaitu (Barat) bagi keturunan Karo-  Karo , Perangin- angin dan Sembiring, sedangkan  “Yuna” untuk Ginting serta Tarigan.

Hitungan jumlah tingkat keturunan itu dinamakan “Beligan Kesunduten Nini Adi” yang dahulu turun temurun diceritakan sehingga tahulah sesorang akan asal usul dan  nenek moyangnya. Putra-Putri yang seketurunan pantang mengadakan  kawin  mawin sesmanya, sebab indetitasnyaq akan sama buat selama- lamanya, kendatipun dengan memakai “Sub Merga”,yaitu “nama khusus ” yang diciptakan berdasarkan keluarga tertentu dalam suatu desa dan atau sesuatu peristiwa dahulu yang merupakan aliran darah khas pula ,namun harus tunduk kepada pokok merga ,Merga Silima.

Jadi orang Karo terbentuk dari bermacam- macam suku atau puak bangsa yang oleh pengaruh lingkungan daerahnya membentuk watak, adat istiadat dan masyrakatnya yang tertentu yang  mempunyai perasamaan serta perbedaaan dengan suku- suku bangsa Indonesia  lainnya, namun bersifat “mandiri” dalam arti sejak dahulu bebas merdeka mengatur pemerintahannnya.

Akan tetapi karena Tanah karo merupakan daerah pedalaman yang tidak akan dapat berswasembada dalam segala hal akan kebutuhan hidupnya, maka terpaksa jugalah mereka mengadakan hubungan dengan  “suku”  atau  “bangsa lain” terutama mengenai bahan makanan seperti garam  yang disebut “Sira”

Mereka langsung menyebarkan penduduknya keluar batas dataran tinggi karo yang berguna sebagai daerah pengubung dan penyangga serangan dari luar yang menurut logat mereka dinamakan “Negeri Perlanja Sira Ras Pulu Dagang ” yang kini daerah- daerah tersebut ialah  Aceh Tenggara , Dairi, Tapanuli Utara, Simalungun, Asahan, Deli Serdang, dan Langkat.

Pulu dagang ialah pedagang yang membeli garam dan lain lain di pesisir seperti di Langkat, Deli Serdang, Asahan , dan Singkel yang di angkut ke ‘Taneh Pengolihen – Tanah Karo ” oleh satu rombongan manusia yang diberi nama julukan Perlanja Sira, meski ada juga mempergunakan  “Kuda Beban” sebagai alat pengangkutannya. Setiap rombongan  perlanja Sira  dikawal oleh pasukan bersenjata, sebab waktu itu di Deleng Kuh Sangkep (nama bukit barisan yang terletak di  bagaian selatan Tanah Karo) maupun di Deleng  Merga Silima  (nama Bukit Barisan dibagian datyaran tinggi Karo) banyak penyamun serta binatang buas.

Untuk nmengenal kawan dipailah kata “sandi atau kode” di pegunungan sebelah utara  tanah Karo setiap berpapasan dengan rombongan manusia lain diucapkan “Merga” yang kalu kawan menjawab..”Si Lima”  yang dilanjutkan dengan. Taneh Pengolihen yang dijawab teman “Karo Simalem” bila mana tidak sesuai  jawabnya dianggap  “musuh”, demikian sekelumit ceritanya  maka nama  pegunungan yang puncak- puncaknya antara lain gunung Sinabung- Sibayak dinamakan orang  Karo deleng Merga silima.

Sumber: Akun Facebook Ngajarsa Sinuraya Bre Bangun

About karobukanbatak

Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba umumnya untuk Batak Tapanuli. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
This entry was posted in Sejarah and tagged , . Bookmark the permalink.

29 Responses to Sejarah Suku Karo

  1. koko says:

    Apakah suku Karo punya hubungan ( berasal ) dengan suku Garo India…?

  2. namorambe says:

    Mejuah-juah mpal.
    Maaf, ada sedikit yang perlu diralat..
    perlu dibaca buku “KARO, dari jaman ke jaman”..
    banyak yang berbeda dari cerita di atas..

  3. namorambe says:

    Dan tolong di ralat kata 2 “KARO BUKAN BATAK”
    itu salah besar dan itu mengada ada..

  4. jhonard pardede says:

    Tlisan ini sangatlah menyesatkan.sepertinya anda terlalu memaksakan bahwa Karo bukan batak.ada tujuan eksklusifisme pada diri anda.secara tak sadar anda sudah menjelaskan bahwa sebenarnya karo itu Batak.bagaimana tidak?dasar kekerabatan batak ada 3.dalam bhs toba disebut “dalihan Natolu”.persis sama!kata pertibin=portibi.reh=ro,datang,kalak reh=halak ro.sindit=sundut(hitungan generasi), turu-turi=turi-turian.dari segi apapun,anda tak bisa mengelak lagi bahwa Karo adalah sub-suku Batak.jangan anda campur aduk dulu masalah ke agamaan dalam tulisan ini,sebab jauh sebelum islam dan kristen datang, Batak sudah ada.Torombo=tarombo dalam batak Toba sampai sekarang wajib ada.bahkan dalam tarombo si Raja Batak disebutkan, bahwa Si Haro(Karo),si Alas,si Gayo adalah anak si Raja Batak yang pergi merantau dari asalnya.itu saja kriterianya:”Dalihan natolu”.Hula2-boru-dongan tubu, versi Karo :“KUH SANGKEP SITELU ” yaitu Kalimbubu,Senina, Anak Beru ,artinya seperti “tungku tiga”.keluarga pihak perempuan(ibu),pihak laki2 dan pihak besan. semua sub Batak punya kekerabatan begitu.dari segi aksara=95% sama,hanya beda penggunaan.ornamen ukir(gorga) identik.Kain adat=Ulos,identik.kesimpulan:tulisan anda sangatlah dangkal,berbahaya untuk generasi muda.Horas!mejuah-juah kita kerina.

    • untuk menjawab unek-unek anda, yaitu mengenai Rakut Sitelu dan Bahasa, maka anda bisa langsung membaca link berikut ini https://karobukanbatak.wordpress.com/2011/11/04/mengenal-masyarakat-karo-bukan-batak/

      • jhonard pardede says:

        Dari dasar pemikiran anda,saya sebagai awam (bukan ahli sosiologi dan antropologi) tidak akan percaya dengan ulasan anda.pemikirannya sangat dangkal.latar belakang anda sebenarnya hanya membuka ruang “eksklusif”.Anda ingin meletakkan bahwa anda dan kaum anda bukan berada di garis yang sama bahkan ingin menyatakan “di atas” peradaban kebatakan.Padahal dari segi kriteria bahwa suatu kelompok masyarakat satu rumpun tidak terbantahkan lagi.Dengan demikian, maka anda hendak menyatakan bahwa pendapat budayawan dan para pakar antropologi/sosiologi menjadi salah.untuk lebih jelasnya, sebaiknya anda membaca “sejarah suku Batak” yang ada di beberapa situs.dari situ anda bisa identifikasi mana yg menjadi rujukan untuk menyimpulkan asal usul Batak Karo.Tidak kurang hebat lagi bahwa Gereja Besar di Karo menamakan gerejanya dengan “Gereja Batak Karo Protestan” atau GBKP,bukan Gereja Karo Protestan.

      • semua pertanyaan anda diatas sudah terjawab ketika anda membaca tulisan pada link ini https://karobukanbatak.wordpress.com/2011/03/11/poin-penting-tentang-pernyataan-karo-bukan-batak/

    • mamatigan says:

      lae pardede.. jangan terlalu dalam kam mencampuri urusan KBB ini.. kami akan tetap memperjuangkan ini sampai kapanpun.. biar generasi kami mengetahui kelak.. dari mana asal mereka.. jelas dari india dan campa kamboja melayu deli.. bukan berasal dari perantauan suku batak ato simalungun.. bujur pal..

  5. andri sitorus says:

    BARU TAU AKU LAH

  6. andri sitorus says:

    saya kira selama ini karo itu sama keturunan batak

  7. Radusenang says:

    Kalau melihat dari asal usul, dari beberapa buku yg pernah saya baca, memang ada perbedaan dengan tulisan anda. Namun dari semua buku yg saya baca tidak ada satu pun yg mengkaitkan hubungan asal usul orang karo dgn suku tapanuli, simalungun atau yg lain dr suku yg berasal dari bagian barat dan utara sumut. Justru orang karo paling dekat dengan kemunculan orang melayu deli. Jadi orang tapanuli yg membuat sejarah suku menjadi amburadul karena klaim sepihak.
    Soal penamaan gereja saya kira hanya penghormatan atas sejarah berdirinya gereja saja.

    • Jhon Pardede says:

      Lalu Anda bilang Penamaan Gereja pada Gereja Batak Karo Protestan tidak punya arti.? Jangan main-main dengan dokumen perjanjian, di mana perjanjian itu dituangkan atas dasar saling mengasihi dan memberi sesama anak Tuhan di hadapan Tuhan. Kenapa bukan saat itu saja Nama itu dirobah? Toh identitas kalian juga tahu dan mengetahui bukan? kalau bukan “Batak”, kenapa mau memberi nama “Batak”, di mana dokumen tersebut sudah menjadi dokumen Negara di Departemen Agama. saya mengharapkan. dibuatkan permohonan perubahan nama gereja tersebut kalau memang saudara Karo bukanlah bagian dari Batak.Itu adalah konsekuensi logis dari penolakannya. Saya juga memohon kepada kita yang membuat perjanjian di hadapan Tuhan membuat nama “Gereja” yang Aam dan kudus, tetapi ternyata memuat konten nama yang salah, supaya bertobat dan meminta ampun kepada Tuhan. Demikian tanggapan saya Bang Radu! Kiranya Tuhan tidak menimpakan amarahnya kepada kita, dan sekiranyapun kita dalam kesulitan, hendaknya kita saling membantu, sekalipun di antara kita ada penyangkalan. Horas mejuah-mejuah,

  8. sura says:

    mejuah mejuah kita kerina radu sikelengen e..ngenca dalanta nina orang tua nta si nai
    kai gia nina kalak si pepagoh budaya ta…

  9. Agape Timotius Kembaren says:

    Saya setuju bahwa Karo sebenarnya bukan Batak. Hanya saja, orang belanda yang menambahkan nama batak karo untuk Gereja karena mereka hanya tahu bahwa orang Sumut identik dengan batak, tapi sebenarnya tidak. buktinya saja Kerajaan Haru (Karo) saja pun tidak menyertakan nama Batak.

  10. Kalau menurut sy: Ditilik dari semua suku batak, saya rasa karo punya perbedaan paling jauh dengan yang lainnya. Kalau dari segi bahasa sih memang ada beberapa yang mirip-mirip gn toba, dan kalo boleh dibilang bahasa dan dialeknya jauh lebih halus ketimbang suku-suku batak yang lain. Saya sndiri sih nggak peduli kalo karo itu bagian dari batak ato bukan, selama ini kebanyakan orang menganggap suku “batak” itu ya suku toba itu sndiri, padahal belum tntu. Dan kalau teman ato guru sya pun brtanya tentang suatu hal yang khas dari batak saya sllu mncoba untuk mnjawab “Batak mana pak? kalo toba saya nggak tau, saya bukan toba. saya orang karo.” Saya rasa jawaban itu cukup diplomatis. Dan kalau ada orang yang menertawai saya karena saya orang batak yang belum pernah sama sekali ke Danau Toba, ya saya anggap enteng saja. Toh disitu juga bukan kampung saya dan saya rasa saya nggak punya hasrat ato kepentingan utk prgi ke situ 🙂 sekian aja sih :p Jadi permasalahan orang karo itu bagian dr batak ato bukan, ya biarkanlah orang karo itu sndiri yang menilai apakah mereka mrsa bagian dari itu atau bukan. Saya sih nggak terlalu peduli sama sejarah, toh orang karonya kan saya, suka-suka saya dong:)

    • jhonard.pardede@yahoo.com says:

      Sifatnya juga beda, Karo lebih menonjol dalam hal “dendam” dan berbeda antara hati dan perbuatan,kecuali mereka penganut Kristen yg kharismatik.setidaknya itulah opini dan yg saya lihat selama ini.Tidak spt yang lain “siboru puas siboru Bakkara molo dung puas sae soada mara”, kalau sdh adem,selesai amarah!.tapi masih menggelitik lagi, kalau dari segi ornamen ukir koq identik? Lalu aksaranya koq 98% sama? Kalau kalian bukan Batak,apakah anda mau bilang itu disadur dari budaya Batak? Lalu bagaimana dengan Pakpak Dairi,bahasanya campuran Karo dan Toba, apakah yg akan Anda bilang dengan ini? Jangan karena kesombongan hati dan rasa iri dan dengki lalu mati2an menyatakan bahwa kalian bukan Batak.yg jelas dari pustaha Tarombo asal mula Batak, bahwa Haro (Karo) adalah bagian dari Batak.bahkan juga gayo.Di lingkungan kami di Bekasi, kami menganggap orang Karo adalah saudara kami sendiri.orang2 Toba menjadi saudaranya yg paling dekat,baik duka maupun suka.Tetapi yang bersangkutan tidak mengatakan bahwa “kami bukan Batak”.
      Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss…!

      • “Sifatnya juga beda, Karo lebih menonjol dalam hal “dendam” dan berbeda antara hati dan perbuatan,kecuali mereka penganut Kristen yg kharismatik.setidaknya itulah opini dan yg saya lihat selama ini.” = adalah opini paling goblok yang nggak punya dasar yang pernah saya dengar.
        a) Apa benar dari segi ornamen ukir karo dan toba IDENTIK? Coba di cek lagi deh, dasarnya apa? nanya sma mbah google aja keliatan 🙂
        b) perhitungan mana yang menunjukkan kepada anda persentase “98%” itu? Ngira-ngira doang kah?
        c) Berbicara tentang Pakpak Dairi, anda tanyakan saja kepada mereka bahasa mereka dari mana. Asal muasal bahasa mereka sama sekali nggak bisa jadi bahan dasar pengambilan langsung kesimpulan asal-muasal suatu budaya. Sebagai gambaran saya kasih contoh suku lain. Orang padang, orang palembang, orang jambi, punya logat, dialeg, bahasa, bahkan nada berbicara yang hampir sama. Trus kalau gitu kenapa nggak dibilang aja mereka semua asalnya dari satu suku yang kemudian mencar kemana-mana kyak “batak”? bisa bisa dihajar orang saya -.-
        d) Jangankan orang toba(yang katanya satu suku dengan saya), mau orang jawa kek mau orang papua kek, tetap saya anggap sebagai saudara saya sendiri.
        Saya sndiri hidup di sumatera. Dan di sini, kegamblangan kelima suku yang katanya Batak itu sangat terasa. Kalau anda mengatakan karena kesombongan hati dan rasa iri dengki yang kemudian membuat orang karo tidak mau dicap sebagai orang Batak, teori apa yang anda pakai??? Berdasarkan fakta dan realita(dan buku yang pernah saya baca), jelas sekali “Jika karo dimasukkan kedalam bagian Batak, maka jelas Ia(Karo) tidak akan mendapat bagian.”

  11. lingga langkat nari says:

    gne aj bt teman ku yg kalak karo,gak usah di bahas hal ini ma orang batak,gak kan ada habis-abisny,marilah kita kalak karo ndungi jangta,kami kalak karo langkat mendukung kalaw karo bukan batak

  12. anton maremare says:

    karo bukan batak, batak bukan karo. gitu aja kok repot. biarkan karo mencari jati dirinya, mungkin mereka adalah melayu karo, apa sih yg gk bisa terjadi di dunia ini.

  13. Halak hita says:

    Janganlah teriakan “Karo bukan Batak” pada forum ini hanya ingin menunjukkan bahwa “Karo” sebenarnya sdh sejak awal menganut agama tertentu yg cenderung terlihat seperti fantasi penulis saja tanpa dokumen pendukung yg jelas tetapi hanya berasal dari argumen2 atau opini yg tidak jelas kebenarannya. Istilah ini menurut saya adalah langkah awal yg mungkin akan semakin besar yg bisa mendatangkan perpecahan diantara batak dan karo. Ketika isu perpecahan ini semkin kuat maka rasa persaudaraan akan semakin luntur dan dapat kita bayangkan bagaimana nanti hubungan emosional keturunan batak dan karo untuk generasi yg akan datang. Semoga penulis semakin rasional sehingga jgn hanya melihat segala sesuatu dr satu sisi saja dan melupakan sisi lain yg lebih besar lagi.

  14. kevin keliat says:

    setuju kel bage cakap ndu ena mpal…
    kalak karo labo batak…
    maju trus kalak karo…
    manangin brastagi nari,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

  15. Mejuah-juah,
    Artikelnya sangat menarik, inspiratif, dan memberikan pemahaman serta pencerahan yang cukup baik. Untuk langkah selanjutnya, penelitian yang lebih mutakhir mengenai sejarah karo mutlak diperlukan untuk meluruskan sejarah. Pernyataan “karo bukan batak” jangan dianggap bahasa yang provokatif, namun harus disikapi secara positf dan bijaksana karena hal ini berhubungan dengan identitas sebuah etnis.

    Berdasarkan referensi yang saya ketahui bahwa telah dilakukan penelitian yang lebih mendalam dari sisi antropologi oleh pakar sejarah dari negeri sendiri dan peneliti Eropa, hasilnya adalah perbandingan profil tengkorak manusia karo purba dengan etnis batak yang yang tidak ditemukan adanya korelasi, dalam bahasa serderhananya adalah relatif tidak ditemukan adanya kemiripan.

    Kondisi ini sebenarnya bukanlah hal yang aneh, karena memang harus kita akui ada perbedaan fisik pada poin dimaksud. Perlu ditambahkan bahwa suku karo yang eksis pada masa kini adalah sebuah evolusi panjang dari ras dan budaya yang berasal dari percampuran ras Negrito yaitu manusia asli nusantara yang disebut manusia Umang yang mendiami daerah Sumatera Timur dengan suku bangsa dari wilayah Hindia selatan pada masa sebelum Masehi.

    Berbeda kronologis ceritanya dengan saudara kita yang berasal dari Tapian-Nauli (Tapanuli) meskipun pada perkembanganya masih ditemukan sedikit korelasi atau kemiripan namun tidak bisa dijadikan suatu tolak ukur bahwa etnis karo adalah dari keturunan raja Batak, sehingga perlu ditegaskan agar tidak menjadi kabur, bahwa karo bukanlah sub-etnis, akan tetapi adalah etnis Karo yang mandiri seperti suku-suku bangsa lainnya yang ada di nusantara. Bujur melala ras mejuah-juah kita kerina, horas!

    • jhonard.pardede@yahoo.com says:

      Saya memang bukan ahli antropolog,tapi saya seorang yang suka segala “seni” dan suka mengamati Adat istiadat.Saya lakukan “pendekatan Seni” bukan penelitian.Berdasarkan Tarombo Raja Batak atau silsilah, bahwa ada keturunan Raja Batak yg pergi merantau ke arah dataran tinggi(arah dairi), yang namanya jelas ditulis sebagai “si Haro”.Dalam pengamatan saya,huruf “H” dalam bhs Batak Toba menjadi berevolusi jadi huruf “K” pada bahasa Karo. Dari segi Filosofi dan kekerabatan: ada dalihan Natolu (daliken sitelu/kalau tdk salah).ada 3 kekerabatn dalam marga : anak,boru,dongan tubu di Toba.Begitu juga pada fungsi dan makna dari Rumah adatnya.Lihatlah Ornamen ukirannya,warna(merah putih dan hitam), juga bentuk aksara/tilisannya.Kalau kita amati bahasanya,tidaklah jauh berbeda dengan Toba.Saya sendiri yg punya kakak Ipar beru Bangun,tidak terlalu susah mempelajari Bahasa Karo saat kuliah di Medan,sebaliknya juga kakak iparku,tidak butuh lama belajar bahasa Toba.Saya menghargai pendapat Bang Tepu(mejuah-juah Impal!),bahwa penelitian berdasarkan ras,asal usul bahkan DNA, itu terlalu jauh bang! Kalau itu, kita semua ras melayu menurut sejarah berasal dari Hindia Belakang,atau Myanmar.Tapi dalam perkembangannya,ada proses assimilasi,kawin campur dan sebagainya.Misalnya, bermarga Sembiring “Meliala” diduga dari keturunan India,itu bisa saja tetapi tidak semua sub etnis Karo dari India bukan? Di sisih lain,Sembiring diyakini adalah bagian dari “Silahi sabungan” di mana Tugu/monumennya ada di Tongging. Kita tau Tongging adalah kawasan pesisir danau Toba dan menyatu dgn komunitas Toba.Adakah saudaraku marga Sembiring menjelaskan ini atau menyangkal? Kembali ke Tarombo si Raja Batak, bukan hanya “si Haro” yg disebut bahagian dari Batak, tetapi juga “Si Gayo”, Si Alas”. Orang Toba menganggab Karo adalah bagian dari Batak,bukan berarti membuat etnis Karo menjadi inferior, bahkan yang terjadi di kenyataan kehidupan, Kaum Toba selalu menganggap mereka Suadara.Misalnya di Perantauan, tdk ada perasaan berbeda kepada saudara Karo.Bahkan masuk juga dalam arisan “Batak”, saling membantu dan menolong.Tidak masalah.Jangan ada seperti dalam banyak tulisan di blog atau media sosial,menuduh org Batak/Toba ingin kuasa,sok menjajah,tipu muslihat,licik dll dgn sebutan negatif. Kalau memang ada bukti penelitian yang sahih, baiklah itu diresmikan oleh pemerintah dan disebarluaskan dlm journal internasional. Namun hingga sekarang, baik umum maupun Pemerintah masih menganggap bahwa “Karo” adalah bagian dari Suku Batak.Kalau ada pernyataan atau keputusan Resmi dan diagendakan oleh pemerintah, maka kami sebagai bagian dari NKRI akan mengikuti. Inklusif,kemajemukan adalah keniscayaan dalam Negara Bhinneka Tunggal Ika, di luar itu persaudaraan sesama Umat Kristus jauh lebih kuat. Begitu juga sesama umat Muslim, karena tak dapat dipungkiri, kedatangan agama sudah mengubah banyak paradigma kekolotan kita dari masa lampau. Kesimpulan, saya mendukung Bahwa Karo adalah Batak,berangkat dari motivasi “mengasihi,menyayangi,merangkul,bersatu” bukan motivasi dari “negative”, dan itu sangat berdasar dari bukti kehidupan sehari-hari. Horas,mejuah-juah kita kerina! Mari, mulih kita ku Tanah Karo Simalem.
      Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss…!

  16. hiskia sinuhaji says:

    Mejuah-juah,

    Saya tertarik dengan artikel dan tanggapan2 saudara2 saya ini,,saya jga beranggapan bahwa memang suku karo buka dari keturunan batak asli,karena memang sekarang karo dikatakan batak karena faktor asimilasi dan geografis saja, tp sya saluy dengan saudara parsede,memang ada bbrpa aksara yg sama,mgkn itu trjadi krena asimilasi karena kedatangan para pendatang ke nusantara khusunya daerah sumut trjadi antara pra sejarah smpai sejarah yg baru2 mengenal tulisan, inj hanya oponi saya saja tapi biarlah kita disini saling berbagi informasi yg mendalam dan akurat spy kita bsa mncintai budaya kita, karena klo d bahas detail mnrut .saya susah mendapat tirik temunya karena di indonesia byk sekali suku2 dan kmgkinan masalhnya seperti suku batak ini, yg paling penting adalh kita ini saudara. Bujur

  17. mang says:

    MEJUAH JUAH ,MAN BANTA KERINA.postingan karo bukan batak memang menarik untuk di perbincangkan agar keturunan kita mengetahui asal usulnya.menurut saya karo bukan keturunan si raja batak.karena perkembangan manusia bukan dari bukit(gunung)tetapi dari tepi pantai .karo datang dari samudra hindia dan aceh tenggara (kali alas) bukan dari pusuk buhit. sementara raja batak di pegunungan .

  18. Tarigan Silangit says:

    Pokokna ɑ̤̥̈̊Ƙů Kalak Karo….

Leave a reply to Do you know my name? Cancel reply